Sumber Malapetaka Runtuhnya Perusahaan Raksasa

Runtuhnya Perusahan Besar Japan Air Lines 

Pada tanggal 19 Januari 2009 lalu, Haruka Nishimatsu, Presiden dari Japan Airline (JAL) beserta dengan stafnya membungkuk di depan wartawan yang hadir dalam konperensi pers, sebagai ungkapan maaf atas ketidak-mampuan mereka mengelola JAL. Maskapai penerbangan terbesar di Asia kebanggaan Jepang, dan nomor 6 terbesar di dunia menyatakan dirinya bangkrut dengan menanggung beban hutang ¥ 2,32 triliun atau setara Rp 232 triliun! Sekitar 1500 perusahaan UKM dari 3000 mitra bisnis JAL diperkirakan akan terseret juga ke jurang kebangkrutan, dan para investor di pasar modal sekarang hanya memegang kertas yang tidak berharga.

Pemerintah Jepang akan merestrukturisasi JAL agar bisa tetap hidup, dengan mengecilkan perusahaan ini. Pesawat Jumbo akan dipensiun dini, rute penerbangan dikurangi, dan ... 15.700 karyawan akan di-PHK hingga Maret 2012.

Penyebab Keruntuhan

JAL yang berdiri sejak 1951 melayani 220 bandara di 35 negara, termasuk 59 bandara domestik. Menghabiskan terlalu banyak dana untuk hotel dan resort. Keseluruhan JAL memiliki 91 unit usaha, dimana 76% transaksi bisnis JAL terjadi antar mereka, yang sering menyebabkan biaya yang lebih tinggi. Mempunyai sekitar 50.000 karyawan, namun manajemennya payah. Menurunnya orang Jepang yang bepergian karena krisis ekonomi, flu burung dan flu babi, serta ketatnya persaingan bisnis penerbangan, menyebabkan rata-rata penumpang yang diangkut tidak melebihi 50% dari kapasitas pesawat selama beberapa tahun terakhir.

Mau Sebesar Apa?

Hampir semua perusahaan ingin menjadi no.1 di bidangnya, atau setidak-tidaknya di segmen pasar tertentu. Yang sudah no.1 terus membesarkan perusahaannya agar tidak terkejar yang di belakang. Yang di belakang berusaha untuk mendahului yang di depan. Perlombaan terjadi, perlombaan "adu nafas" tanpa garis finish...!

Ketika suatu perusahaan yang beromzet Rp 1 miliar per tahun memutuskan untuk menaikkan penjualan 10%, kenaikannya adalah Rp 100 juta. Bagi yang beromzet Rp 100 miliar, kenaikan 10% adalah Rp 10 miliar. Yang sudah beromzet Rp 1 triliun, kenaikannya Rp 100 miliar. Meskipun sama-sama 10%, tapi ada perbedaan besar antara kenaikan penjualan Rp 100 juta dengan Rp 100 miliar. Diperlukan tambahan banyak pekerja, yang berarti biaya juga meningkat. Jika modal sendiri tidak cukup, diperlukan pinjaman yang perlu dibayar bunga dan hutang pokoknya. Koordinasi diantara pekerja juga semakin rumit.

Ketika pendapatan yang diharapkan tidak tercapai, maka besarnya jumlah karyawan dan pinjaman bisa menjadi "monster" yang menggerogoti perusahaan. Jika ditambah dengan manajemen yang sudah tidak mampu mengendalikan operasi yang semakin menggurita (apalagi jika ditambah korupsi), akhirnya nama perusahaan hanya akan menjadi kenangan. Semakin besar suatu perusahaan berkembang, pada saat yang sama tanpa disadari mereka juga membesarkan "monster" dalam perusahaan. Itulah yang dialami JAL, dan hampir semua perusahaan besar yang telah menjadi "almarhum". (Lihat juga catatan dibawah tentang 10 perusahaan besar di AS yang mendekati bangkrut).

Sumber Malapetaka

Tidak dapat disangkal, sumber runtuhnya perusahaan besar di era sekarang dikarenakan ketamakan manusia. Mungkin sang pemilik, eksekutif perusahaan, atau gabungan dari mereka. Pemilik atau investor ingin nilai perusahaannya bertambah besar, sehingga mendapat keuntungan besar jika dijual. Eksekutif ingin mendapat gaji, bonus dan tunjangan besar serta fasilitas mewah. Mereka saling memanfaatkan!

Dulu, perusahaan membesarkan bisnis dengan meluaskan jaringan pemasaran setahap demi setahap, kemudian meningkatkan produksi untuk menunjang pasar yang telah dibukanya. Cara ini pada jaman sekarang dianggap sudah kuno oleh mereka yang "work smart", karena terlalu lambat dan perlu "work hard". Jangankan untuk menaikkan omzet 10%, untuk menaikkan 100% pun hal gampang! Beli saja perusahaan sejenis (seringkali dengan harga mahal menggunakan uang pinjaman), laporan keuangan digabungkan. Omzet dan keuntungan langsung meroket 'kan? Eksekutifnya "smart"!!! Dan tentu saja gaji dan bonus besar sudah menanti. Jika dua-tiga tahun lagi "kutak-kutik" angka ini menyebabkan perusahaan rugi, itu urusan lain... Yang penting, pemilik, investor dan eksekutif sudah menikmati keuntungan dulu. Tentu saja ini bukan di seluruh perusahaan besar, tapi hanya di perusahaan yang dimiliki atau dikelola manusia tamak.

Menghindari Mala Petaka

Menyadari bahwa sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan. Mempunyai perusahaan kecil yang berjalan baik tidaklah jelek. Mengoperasikan perusahaan besar yang terkendali juga bagus. Tapi yang melebihi kemampuan pengendalian sangat berbahaya. Daripada menjadi yang terbesar, mengapa tidak menjadi yang terbaik di segmen pasar kita.

Ketamakan, kelicikan, tipu-daya, korupsi, hasil instant dan kesombongan, adalah beberapa budaya buruk yang bisa membawa mala petaka. Cara terbaik menghindari mala petaka adalah menghindari penyebabnya.

Sumber : jammintarja.com
Oleh : Ardhi Sukses

Komentar

Postingan Populer