Sayup-sayup Rupiahku di Perbatasan NKRI

Cerita ini saya dedikasikan untuk GERAKAN CINTA RUPIAH oleh BI dan anak-anak di daerah perbatasan, yang bahkan seringkali kebingungan untuk membedakan antara mata uang sendiri dan mata uang asing.  Walaupun penggunaan untuk belanja mereka tidak terlalu besar, namun nantinya merekalah yang akan memegang kendali bangsa ini. Bukan tentang saat ini, tapi tentang arah bangsa ini.

***

Waaahh.. Indahnya pemandangan malam ini. Langit cerah, awan seperti malu atau mungkin takut untuk menutupi cahaya rembulan. Masih terlihat samar-samar lekuk bentuk bulan dari kejauhan, yang semakin memperpadu keindahannya. Aku melihat dari balik papan jendela kamarku.

Oh iya, bintang, aku mencari bintang…

Sepertinya hari ini sangat banyak, jutaan mungkin. Tak bisa kuhitung satu-satu, aku hanya mengamati siapa yang paling terang, siapa tahu ada yang lebih terang dari bulan. Sampai saat ini yang kutahu hanya bulan lebih terang dari bintang. Padahal kata abangku, Jarjit namanya, bahwa bulan cuma pantulan. Sementara bintang itu ada yang lebih terang dari matahari. Katanya sih begitu…

Ketemuuuu… Teriakku. Diseberang lautan sana, aku melihat bintang yang sangat terang. Tidak cuma terang, tapi sangat banyak. Pantulan sinarnya ke air laut membuatnya jadi tambah banyak. Oh iya, itu namanya bintang lampu, tahu ku dari Bang Jarjit yang bilang kalau itu sinaran lampu. Katanya disana banyak gedung tinggi, 10 kali lebih tinggi dari pohon kelapa. Ada banyak jendela, tiap jendela ada lampunya. Aku juga lihat ada bintang lampu yang bisa bergerak terus-menerus mengarah kelautan, seperti menuntun kapal untuk merapat kesana. “Ingin sekali aku ke seberang laut sana, ke bintang-bintang itu”, rengek ku.

***

Namaku Ros, nama panjangku Rosmiyani. Namun mamakku sering memanggil dengan nama Kak Ros karena aku masih punya adik. Umur masih 10 tahun, tapi sekarang aku masih di kelas 3 SD. Katanya kalau di kota, umur segitu sudah harus kelas 5 SD. Maklum, budak-budak kampung di sini memang lebih memilih bekerja untuk dapat uang jajanan daripada belajar.

Oh iya, aku tinggal di sebuah pulau yang cukup bagus pemandangannya. Namanya Pulau Rupat, masih di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Katanya ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru, sama besarnya dengan pulau yang ada diseberang laut sana. Ya, seberang sana namanya Pulau Malaysia. Mungkin kita masih satu daerah, karena bahasa yang aku gunakan hampir sama, bahasa melayu. Tapi kenapa kalau mereka kesini bawa barangnya bagus-bagus, bajunya baru, sepatu kilat, kacamata hitam. Eh iya, uang belanjaan mereka juga berbeda dengan uang yang bapakku kasih. Bang Jarjit bilang itu uang Ringgit Malaysia, bisa dipakai di kampung ini untuk beli-beli. Yaahhh... Aku belum ngerti, mungkin nanti belajarnya kalau udah kelas 4, mungkin...

***

“Kak Rooossssss, masih belum tidur kan?” terperanjat aku. Mamakku memanggil dari balik pintu kamar, dengan suaranya yang keras khas orang pantai.

Aku buka pintu sambil salim tangannya, karena emang dari siang tadi sehabis main sampan di laut, aku langsung masuk kamar. Belum mandi, masih bau asin. “Ya mak, kenape? tekejot lah mak, hahahaha...”.

“Besok mamak sama bapak nak ke seberang, Malaysia. Jam tige pagi dah di kapal ferry. Nah, uang jajan buat tige hari yeee”, sambil menyodorkan satu lembar uang limapuluh ribu, satu lembar uang limaribu yang kumuh, dan yaahh seperti biasa, aku tetap dapat uang ringgit, kali ini hanya tiga lembar, masing-masing sebesar satu ringgit. 

“Kak Jarjit tadi udah mamak kasi jugak sekalian buat adek bungsu. Mamak pergi tiga hari, mau belanja buat kedai sama belanja bulanan. Kalau nak jajan pakai uang ringgit, di kedai Koh Akong ajelah, die boleh terime ringgit”, sambil balik badan, meninggalkan aku yang menghitung lembaran duit. Walau aku masih kecil, tapi aku bisa tahu kalau saat ini 1 ringgit itu bisa beli 1 bungkus mie goreng seharga tigaribu kalau pakai rupiah. Kata orang-orang, kalau kita tukar dengan rupiah bisa dapat uangnya lebih banyak.

“Maak, maaf mak, lupe. Makasih yeee. Besok hati-hati, jangan lupe pulak bace doa. Tolong bilang sama bapak juge, bapak belum pulang rumah kan?”, tuturku dengan sopan sambil meraih tangan mamak, mencium dengan khidmat. Lalu aku beranjak ke meja belajarku, meneruskan mengerjakan PR sekolah. Uangnya aku letakkan di meja sebelah kananku, di atas tumpukan buku IPS.
Satu jam berlalu, kulihat di dinding, jam 10 malam... 

Hoaaaahhmmm, aku mengantuk...

***

“Hikss..hikss... Toloongg... toloongg.. Sakitnya. Badanku... badanku, badanku, hiks... habis diremas-remas manusia, hiks... hiks ... dicoret sama anak sekolahan, keluar masuk pasar ikan. Toloongg akuuu, hiks... hiks....”. Samar-samar aku mendengar suara tangisan. Mataku ku buka perlahan, tapi tidak semua, hanya mengintip. 

Seperti khayalan, aku melihat uang limaribu di atas meja bisa berbicara, sedang menangis, meratap tubuhnya yang sudah lusuh. Tidak hanya itu, aku juga melihat uang limapuluhribu juga berdiri, berbicara kepada limaribu.

“Sssstttt... Hai..hai.. teriaknya jangan keceng-kenceng, nanti si ringgit kebangun, malu loh diliatin mereka entar. Tenang..tenang. Kamu aman kok berada di tangan anak baik ini. Ayo dong, berhenti menangis”, ujar limapuluhribu sambil menenangkan.

Mendengar teriakan limaribu tadi, selembar ringgit sudah terlanjur bangun. Aku hanya tertegun melihat uang-uang itu hidup bereaksi layaknya manusia. Ku pasang telinga lebih dalam, berharap tidak ada yang terlewatkan dari percakapan mereka. Jangan ditiru, kata mamak tidak baik. Tapi ini diluar nalar, bukan manusia. Mungkin akan berbeda tanggapannya.

“Haahh.. ade ape... ade ape? Siape pulak yang menangis malem bute ni? Ape pulak yang tejadi?”. Hahaha, aku tertawa dalam hati. Nyatanya uang ringgit pun masih kental dengan bahasa melayunya.

“Hei.hei.. limaribu. Kenape pulak awak tu nangis?”, tiba-tiba ringgit terkejut melihat tubuh limaribu.
“Ya Allah, kenape pulak lah engkau ni. Kenape badan macam belacan ni. Badan tecoret-coret, macam arang. Nah..nah.. Mane pulak angka nol dikau ni, ilang pulak, pantas tinggi cume sekerat je. Ehh..ehh..ehhh.. Kasian engkau. Limapuluhribu, ape yang harus kite buat ni, kesian nengok kawan awak. Kan kau tinggal kat sini, kan pasti taulah care perbaiki die”, tutur ringgit peduli.

“Haduh, gimana ya. Kalau di kampung gini, hal seperti itu udah biasa. Bahkan temanku di satu dompet manusia kemarin, cuma tinggal setengah badan aja. Sedih hati, tiap-tiap malam kami-kami yang udah lusuh ini menangis, menerima nasib. Untung aku baru keluar dari bank, makanya bisa rapi. Kalau saja dalam beberapa hari ini aku masih sering di pasar, samalah nasib ku dengan limaribu ni. Mungkin bisa lebih parah. Padahal, waktu kami diciptakan, pencipta kami udah bilang kepada teman-temannya kalau ada 5 hal yang tak boleh dilakukan kepada kami. Tidak boleh di stepler, dilipat, dibasahin, diremas, dan dicoret. Liat tuh limaribu, masih kurang 1. Kalau dia basah, lengkap sudah penderitaannya. Hahahhahaa...”, limapuluhribu membela diri.

“Husshh.. malah ketawe pulak engkau. Dasar, besok kau pule yang kene, baru tau rase. Tengok ni, limaribu masih nangis, jomlah awak cari solusi. Biar cepat pulak berenti nangisnye. Aku dah nak tidur lagi ni”, paksa ringgit kepada limapuluhribu.

“Haloooo, ada apa nih ribut malam-malam, ada yang sudah saya lewati?”. Haahh, laci bawah mejaku terbuka. Aku mengintip, kartu debet juga bisa bicara? Dia memanjat ke atas meja, ikut nimbrung dalam percakapan uang. Aku memang ingat kalau dulu pernah diberikan kartu debet, karena sekarang sedang menabung di bank, tempat ayahku bekerja. Namun tidak pernah digunakan, karena di sini hanya kampung. Jangankan mesin yang bisa ambil uang, komputer saja tidak banyak yang punya.

“Limaribu, kamu kenapa? Kok bisa lusuh begitu. Pasti ulah manusia lagi kan?” ujar kartu debet kesal. 

“Mereka para manusia gak tahu apa, gimana susahnya membuat uang seperti kalian. Harus diukir di plat cetak, dimasukin gambar yang banyak di dalamnya, lalu didiamkan sampai 2 hari, dimasukin ke dalam mesin cetak. Belum lagi harus dicek beberapa kali sampai tidak ada kerusakan. Lalu dengan seenaknya mereka merusak kalian. Walaupun pembuatanku dengan teknologi yang lebih canggih, tapi aku bisa merasakan bagaimana sedihnya kalian. Dibuat susah-susah, tapi malah tidak dirawat. Bagaimanapun juga di masa depan, aku berharap lebih banyak kartu sepertiku daripada uang seperti kalian. Untuk perawatanku sangat mudah, lagian seberapa besarpun nilaiku, ukuranku  tetap segini aja. Berbeda dengan kalian, yang harus berjuang mati-matian untuk pindah dari manusia ke manusia lainnya”, sambung kartu debet dengan nada bijaksana.

Tiba-tiba sunyi...

Aku lihat masing-masing uang sedang berpandangan, saling mengobati rasa kesalnya akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

“Hellooowww.. Aku kok jadi rindu pulak sama kampungku di Malaysia. Jauh-jauh aku merantau kesini, dipakai disini... Aku rindu same sejarah aku diciptakan. Manusie disini tak tau pe, kalau sejarah kalian itu panjang, berliku, banyak rintangan. Kaliankan tau kalau nenek moyang kalian dari Oeang Republik Indonesia (ORI). Waktu tu di Malaysia aku dengar pidato Bung Karno cakap bahwa “Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara”. Ucapan yang sangat mendalam. Belum cukup sampai disitu, karne negare kalian terlalu luas, maka ORI juge dibentuk dalam ORI Daerah. Pade akhirnye, sebagai pemersatu negare, diresmikanlah rupiah agar jadi mate uang di negare ini, Negare Indonesie. Jadi kalian tu bukan diciptakan cume sabagai alat tukar je, tapi juge pemersatu bangsa”, ucap ringgit, terlihat air mata berlinang dimatanya. Mungkin memang benar sedang merindu.

“Sungguh bijak juga mereka kalau sudah berkumpul”, gumamku. Aku melirik ke arah limaribu, tangisnya sudah reda. Mungkin karena teman-temannya juga memiliki rasa yang sama. Dibelakangnya, limapuluhribu sepertinya sedang berfikir. Kerut keningnya memperlihatkan kebijaksanaannya sepertinya akan muncul. 



Benar saja, selang beberapa detik kemudian, limapulihribu nyeletuk di antara mereka. “Guys, begini saja. Aku punya ide. Bagaimana kalau kita buat surat untuk mereka. Kita ungkapkan saja semua yang kita fikirkan. Biar mereka tahu, bagaimana harus memperlakukan kita. Jasa kita juga harus mereka bayar dengan kepedulian”.

“Setujuuuuu.....”, ungkap mereka serempak.

Aku diam saja, berpura-pura tetap terlelap saat limapuluhribu memaksa mengambil pulpen yang masih ada di tanganku, kertas juga ditariknya dari himpitan tanganku. Setelah itu, dia mulai menulis. Sepertinya ini akan jadi sejarah.

Dear Manusia,
Asa kami tempuh dalam perjalan panjang
Pulau, lautan, gunung, kami seberangi
Tidakkah kalian iba, sedikit saja
           Kau bilang sulit tidak ada kami
           Kau tutur rumitnya jika bertukar dengan barang
           Kau bisiki, terimakasih.
           Bukan..bukaan. Bukan terimakasih, tidak butuh.
           Coba luangkan sejenak lihat helaian kami
           Kau akan tahu apa yang kami butuhkan
           Tidakkah kalian iba, sedikit saja.
           Cinta itu tumbuh dari rasa sakit
Pencipta kami dengan lantang katakan 
“Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara”
Petinggi kalian juga katakan kalau kami pemersatu bangsa
Lalu dimana penghargaan itu
Hanya sebatas termakasih?
Bukan..bukaan. Bukan terimakasih, tidak butuh.
Tidakkah kalian iba, sedikit saja.
Cinta itu tumbuh dari rasa sakit
           Gunakan kami, rawat kami
           Kami sakit, kami butuh CINTA.

Ttd,
Rupiah

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

“Kak Rossss, bangun. Tengok jam, cepat solat subuh. Mandi, lepas tu sarapan. Dah abang siapkan di atas meja dah. Jangan sampai lambat sekolah. Kang kena suruh bediri pulak depan kelas”. Kagetan Bang Jarjit membangunkan tidurku. 

Hufftt... Mimpi rupanya.

Kulihat uang, pulpen, dan kertas, masih berada ditempat semula. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Suratnya juga tidak ada, tapi sepertinya masih membekas diingatan. Semuanya masih membekas di ingatan. Mungkin memang sebuah pesan. Tidak terlupakan.

***

Kayuh sepeda ontelku semakin kencang, sepertinya mimpi tadi malam memberi energi lebih untuk terus menggenjot pedalnya. Tadinya sewaktu istirahat main di sekolah, aku sudah memutuskan untuk berjanji lebih memperhatikan uang yang aku pegang, akan terus aku rawat. Langkah kedua, tujuanku sekarang adalah ke tempat Koh Akong.

Sesampainya dikedai Koh Akong, aku memanggil. “Koh.. Koh Akong. Mau be...”

Belum selesai aku bicara, Koh Akong sudah ada di seberang meja etalase barang, menyahut dengan logat khas cinanya. “Ooohhh, ade Kak Los, mau beli apa balang?”.

“Koh, tak beli barang, tapi nak tukar duit, boleh tak? Nak tukar duit ringgit ni, ni semue dari tabungan Kak Ros, banyak koh. Tak ape?”, ucapku agak memelas manja.

“Haiiyyaaa, kenapa pula ditukal. Lu orang mau belanja di sini pakai lupiah ke pakai linggit ke, sammma sajalah”, ujarnya. “Tapi kalau lu mau tukal juga tak apa, tapi apa sebab?”, sambungnya sambil menatap kepada ku menunggu jawaban.

“Tak apa koh, Kak Ros cume nak pakai rupiah je, tak nak pakai duit lain. Kan rupiah punye Indonesie, kite kan warga Indonesie. Kan kite harus bangge dengan punye sendiri, nak bangge dengan punye orang, tak boleh”, sahutku polos.

Aku kira melihat reaksi dari Koh Akong, seperti tidak percaya. Lalu dia mengambil uang ringgit dari tangganku sambil menghitung jumlahnya. Seratus empat puluh enam lembar, tapi berbeda jumlah. Urusan itu aku tidak bisa menghitungnya. Hitunganku masih hitungan anak SD 100 dikali 100.

“Haiiyyyaaaa, nih uangnya. Tadi dihitung jadinya tiga setengah juta. Banyak jugalaah”, dia menyerahkan kembali uangku dalam bentuk rupiah. Aku tidak ambil pusing bagaimana dia menghitung, sudah percaya karena langganan. “Kalaulah semua budak kecik di Indonesia ni macam Kak Los, masa depan lupiah pasti sangat celah. Nilai lupiah pasti sangat tinggi, kalena semua olang tak mau pakai duit lain. Lupiah jadi sangat dihalgai. Baguss...baguss...”, puji Koh Akong. Tapi aku tidak terlalu peduli.

Kutarik sepeda, ku kayuh lebih kencang dari sebelumnya, karena sadar perjalanan berikutnya akan semakin jauh. Ya, menabung, langkah berikutnya adalah ke bank terdekat, tempat ayahku bekerja. Setidaknya aku percaya, ada benarnya kartu debet dalam mimpiku, kalau sebaiknya uang itu tidak dalam bentuk kertas. Aku percaya, kalau cinta harus menggunakan, kalau cinta harus menjaga. Aku juga teringat cerita temen, dia pernah menabung di celengan kayu. Uangnya malah hancur dimakan rayap, jangan sampai terjadi.

“Akhirnya sampai di bank”, pikirku. Tidak terasa 10 KM sudah aku tempuh untuk sampai ke sini. Keringat masih bercucuran di baju putih SD ku. Tidak masalah, sudah biasa di kalangan kami, budak-budak kecik di sini.

Sesampai di dalam, aku langsung menuju kasir, menyerahkan uang yang sudah ditukar ke rupiah, uang tabunganku yang memang dalam bentuk rupiah, dan buku tabungan. Aku sisihkan beberapa lembar uang baru untuk jajan selama seminggu. 

Antrian? Tidak ada antrian karena di sini orang-orang jarang menabung atau berinteraksi dengan bank, kecuali untuk hutang. Itupun dilakukan di luar bank.

“Selamat siang cantik, masih kecil udah pintar menabung. Tabungannya juga banyak. Pasti pintar banget dapat uang. Waahh.. semuanya rupiah ya, jarang-jarang loh. Biasanya pasti dicampur sama uang ringgit kalau nabung disini. Ya udahh, kakak hitung dulu yaa...”, pujiannya cukup melambungkan ku. Aku hanya tersipu.

“Totalnya jadi enam juta setengah yaa...”

Tiba-tiba kakak kasirnya berhenti menghitung, seperti tersentak jarinya. “Eh, ini ada yang nyelip di uangnya. Kartu debet sepertinya, dibawa pulang aja ya”.

Rautku bingung, aku kaget bukan kepalang. “Haahhh... Kartu debet? Sejak kapan dia tercampur di uangku. Aku tidak pernah memindahkan dari laciku. Atau jangan-jangan mimpi tadi malam...”.

***

SELESAI

Oleh : Ardhi Khairi
CP : ardhi.khairi@gmail.com

Komentar

Postingan Populer